“Allahumma Ij’alhu
Ayatan Tu’inuhu Ala Ma Yanwi
Minal Khair (Ya Allah Berikanlah Untuknya Satu Tanda
Kekuasaan yang Dapat Membantunya Mengerjakan Kebaikan
yang Telah Ia Niatkan.” (Salah Satu Do’a Rasul Saw Untuknya)
Al Thufail bin
‘Amr Al Dausy adalah pemimpin kabilah ‘Daus’ pada masa jahiliah. Dia adalah
salah satu sosok pemuka Arab yang berpengaruh, dan salah seorang tokoh yang terhormat…
Tungku tidak
pernah diturunkan dari perapian baginya, dan tidak ada pintu yang tertutup
baginya…
Ia gemar memberi
makan orang yang lapar, memberi rasa aman bagi orang yang ketakutan dan melindungi orang
yang memohon perlindungan.
Ditambah lagi dia
adalah sosok yang beradab, cerdas dan pintar. Ia adalah seorang penyair yang memiliki perasaan
yang peka dan lembut. Dia amat mengerti dengan manis dan
pahitnya pembicaraan… sehingga kalimat yang diucapkannya mengandung bobot magis
bagi yang mendengarnya
Al Thufail
meninggalkan rumah tinggalnya di Tihamah3 menuju Mekkah. Kala itu pergumulan
masih terus berlangsung anyara Rasulullah Saw dengan para kafir Quraisy.
Masing-masing pihak membutuhkan pendukung dan sahabat…
Rasul Saw berdo’a
kepada Tuhannya dan yang menjadi senjata Beliau adalah keimanan dan kebenaran.
Sedang kafir Quraisy menentang dakwah
Rasul dengan segala jenis senjata, dan mereka berusaha menghalangi manusia dari
Beliau dengan cara apapun.
Al Thufail
mendapati dirinya telah berada dalam peperangan itu tanpa persiapan apapun dan
ia turut serta di dalamnya tanpa sengaja…
Ia tidak datang ke
Mekkah dengan tujuan ini, dan tidak ada dalam benaknya urusan Muhammad dan
Quraisy.
3 Daerah pinggir laut di Jazirah Arab yang sejajar
dengan Laut Merah
Dari sini maka
dimulailah sebuah hikayat yang tak pernah terlupa bagi Al Thufail bin ‘Amr Al Dausy; Mari kita simak kisah ini,
karena ia adalah sebuah kisah yang aneh.
Al Thufail mengisahkan: “Aku tiba di
Mekkah. Begitu para pemimpin Quraisy melihatku, mereka mendatangiku dan
mereka menyambutku dengan begitu mulia. Dan mereka memposisikan
diriku dengan begitu terhormat.
Lalu para pemimpin
dan pembesar mereka berkata kepadaku: “Ya Thufail. Engkau telah datang ke
negeri kami. Ada seorang disini yang mengaku bahwa ia adalah seorang Nabi yang
telah merusak urusan dan mencerai-berai persatuan serta jama’ah kami.
Kamikhawatir ia dapat mengganggumu dan mengganggu kepemimpinanmu pada kaummu
sebagaimana yang telah terjadi pada diri kami. Maka janganlah engkau berbicara
dengannya, dan janganlah kau dengar apapun dari pembicaraannya; sebab ia
memiliki ucapan seperti seorang penyihir: yang dapat memisahkan seorang anak
dari ayahnya, dan seorang saudara dari saudaranya, dan seorang istri dari
suaminya.”
Al Thufail
berkata: “Demi Allah, mereka terus saja menceritakan kepadaku tentang keanehan
kisah Muhammad. Mereka membuat diriku dan kaumku menjadi takut dengan keajaiban
perilaku Muhammad. Sehingga akupun bertekad untuk tidak mendekat kepadanya, dan
untuk tidak berbicara atau mendengar apapun darinya.
Saat aku datang ke
Masjid untuk berthawaf di Ka’bah, dan mengambil berkah dengan para berhala yang
ada di sana sebagaimana kami melakukan haji kepadanya untuk mengagungkan
berhala-berhala tadi, akupun menutup telingaku dengan kapas karena khawatir
telingaku mendengar sesuatu dari perkataan Muhammad.
Akan tetapi bagitu
aku masuk ke dalam Masjid aku mendapati ia sedang berdiri melakukan shalat
dekat Ka’bah bukan seperti shalat yang biasa kami lakukan. Ia melakukan ibadah
bukan seperti ibadah yang biasa kami kerjakan. Aku senang melihat pemandangan
ini. Aku menjadi tercengang dengan ibadah yang dilakukannya. Aku mulai mendekat
kepadanya. Sedikit demi sedikit tanpa disengaja sehingga
aku begitu dekat dengannya…
Kehendak Allah
berbicara lain sehingga ada beberapa ucapannya
yang hinggap di telingaku. Aku mendengar pembicaraan yang baik. Dan aku
berkata dalam diri sendiri: “Celaka kamu wahai Thufail… engkau adalah seorang
yang cerdas dan seorang penyair. Dan engkau dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk. Lalu apa yang
menghalangimu untuk mendengar apa yang diucapkan orang ini… Jika yang dibawa
olehnya adalah kebaikan maka akan aku terima, jika itu adalah keburukan maka
akan aku tinggalkan.”
Al Thufail
masih mengisahkan: “Kemudian aku masih terdiam
sehingga Rasulullah Saw kembali
ke rumahnya. Aku mengikuti Beliau
dan begitu ia masuk ke dalam rumahnya, akupun turut
masuk. Aku berkata: “Ya Muhammad, kaummu telah menceritakanmu kepadaku bahwa
kamu begini dan begitu.
Demi Allah, mereka
terus-menerus membuatku khawatir dari mu sehingga aku menutup
kedua telingaku dengan kapas agar aku tidak mendengarkan ucapanmu. Kemudian
kehendak Allah berkata lain, sehingga aku mendengar sebagian dari ucapanmu, dan
aku mengaggap hal itu adalah baik…
maka ceritakanlah urusanmu padaku…!
Beliau
menceritakan urusannya kepadaku. Beliu juga membacakan untukku surat Al Ikhlas
dan Al Falaq. Demi Allah, aku tidak pernah mendengar sebuah ucapan yang lebih
baik daripada ucapan Beliau. Dan aku tidak pernah melihat urusan yang lebih
lurus daripada urusannya.
Pada saat itu, aku
bentangkan tanganku kepadanya, dan aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah
dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Dan akupun masuk Islam.
Al Thufail berkata: “Aku tinggal
beberapa lama di Mekkah untuk mempelajari Islam dan aku selama itu aku
menghapal beberapa ayat Al Qur’an yang mudah bagiku. Begitu aku berniat kembali
ke kampungku aku berkata: “Ya Rasulullah, Aku adalah seseorang yang dipatuhi di
keluargaku. Saat ini aku mau kembali kepada mereka dan menjadi penyeru mereka
kepada Islam. Berdo’alah kepada Allah agar ia memberikan aku sebuah tanda kekuasaan-Nya yang dapat menjadi
penolongku dalam berdakwah kepada mereka. Maka Rasul langsung berdo’a: “Allahumma ij’al lahu ayatan (Ya Allah
jadikanlah untuknya sebuah tanda kekuasaan).”
Aku pun mendatangi
kaumku, sehingga jika aku tiba di sebuah tempat yang tinggi di sekitar rumah
mereka maka turunlah sebuah cahaya di antara kedua mataku seolah sebuah lampu.
Aku pun berdo’a: “Ya Allah, jadikanlah ia bukan pada wajahku, sebab aku
khawatir mereka menduga bahwa ini adalah hukuman yang ditimpakan ke wajahku
karena aku meninggalkan agama mereka… maka cahaya tadi bergeser dan turun ke
pegangan cambukku. Maka para manusia
yang ada saat itu mencoba
untuk melihat cahaya tadi yang berada di cambukku seolah lampu yang
tergantung. Dan aku datang menghampiri mereka dari lembah. Begitu aku turun
ayah menghampiriku –Beliau saat itu sudah amat renta- Aku berkata: “Kita sudah
tidak berhubungan lagi. Aku bukan milikmu dan engkau bukan milikku.” Ia
bertanya: “Mengapa begitu, wahai anakku?” Aku
menjawab: “Aku telah
masuk Islam dan mengikuti agama
Muhammad Saw” Ia berkata: “Duhai anakku, agamaku adalah agamamu.” Maka
akupun berkata: “Kalau begitu, mandilah dan bersihkanlah pakaianmu. Lalu
kemarilah agar aku mengajarkan apa yang pernah aku pelajari.” Lalu Beliau mandi
dan membersihkan pakaiannya, kemudian Beliau
datang menghampiriku sehingga aku paparkan Islam kepadanya
dan iapun memeluk Islam. Kemudian istriku datang dan aku berkata kepadanya:
““Kita sudah tidak berhubungan lagi. Aku bukan milikmu dan engkau bukan
milikku.” Ia bertanyaL “Mengapa demikian? Demi ibu dan bapakku.” Aku menjawab: “Islam telah memisahkan antara kita. Aku telah
masuk Islam dan mengikuti agama Muhammad Saw.” Ia berkata: “Kalau begitu,
agamaku adalah agamamu.” Aku berkata: “Bersucilah dengan air Dzu Syara4!” Ia bertanya: “Demi ibu dan
bapakku, apakah engkau tidak khawatir terkena musibah
dari Dzu Syara?!”
Aku menjawab: “Celaka
kamu dan Dzu Syara…
aku katakan kepadamu: pergilah dan mandilah
di sana di tempat yang jauh dari pandangan
manusia. Aku jamin pasti batu yang tuli itu tidak dapat melakukan apapun kepadamu.”
Iapun berangkat
dan mandi. Kemudian ia datang lagi dan aku paparkan Islam kepadanya sehingga
iapun mau memeluknya. Kemudian aku berdakwah kepada penduduk Daus namun mereka
tidak menjawab dengan segera ajakan ini kecuali Abu Hurairah dan Beliau adalah manusia yang paling dulu masuk Islam dari mereka.”
Al Thufail
berkata:“Aku mendatangi Rasulullah Saw di Mekkah
dan aku mengajak Abu
Hurairah saat itu…
Nabi Saw bertanya
kepadaku: “Apa yang ada di belakangmu wahai Thufail?”
Aku menjawab: “Hati yang tertutup, dan kekafiran yang dahsyat. Di daerah Daus
kefasikan dan kemaksiatan telah merajalela.” Lalu Rasulullah Saw berdiri, berwudhu
lalu shalat dan ia
mengangkatkan tangannya ke langit. Abu Hurairah berkata saat itu: “Ketika aku
melihat Beliau melakukan hal itu aku khawatir Beliau mendo’akan kaumku sehingga
mereka dapat binasa…
Maka akupun berkata: “Ya kaumku….”
Akan tetapi Rasulullah Saw berdoa: “Ya Allah berilah petunjuk bagi kaum Daus…
Ya Allah berilah petunjuk bagi kaum Daus… Ya Allah berilah petunjuk bagi kaum
Daus.” Lalu Beliau menoleh ke arag Thufail seraya bersabda: “Kembalilah ke
kaummu dan berlaku haluslah kepada mereka
dan ajaklah mereka
memeluk Islam!”
Al Thufail berkata: Aku masih saja
terus berdakwah di daerah daus hingga
Rasulullah Saw berhijrah ke Madinah. Meletuslah
perang Badr,Uhud, dan Khandaq.
Aku datang menghadap Nabi dengan
membawa
80 kepala
keluarga dari daerah Daus yang telah masuk Islam dan menjalankan keislamannya
dengan baik. Rasulullah Saw menjadi gembira
karenanya, dan Beliau
membagikan kepada kami jatah ghanimah
(harta rampasan
perang) Khaibar5.
Lalu kami berkata: “Ya Rasulullah, jadikanlah kami pasukan tempur sisi kanan
dalam setiap peperangan yang kau
lakukan. Dan jadikanlah semboyan kami:
“Mabrur”
Al Thufail masih
berkisah: “Aku terus mendampingi Rasulullah Saw hingga Beliau menaklukkan
Mekkah. Akupun berkata: “Ya Rasulullah, Kirimlah aku ke Dzul Kafain sebuah berhala milik ‘Amr bin Hamamah sehingga aku
dapat membakarnya… Rasulpun mengizinkan Thufail untuk melakukan itu; dan ia berangkat menuju berhala itu dengan
sebuah pasukan yang terdiri dari para kaumnya.
Begitu ia sampai
di sana dengan tekad bulat untuk membakar berhala itu. Rupanya banyak wanita,
pria dan anak-anak yang menunggu datangnya musibah bagi diri Thufail. Mereka
juga menunggu datangnya petir jika Thufail
berani mendekat kepada
Dzul Kafain. Akan tetapi Thufail
terus mendekat ke arah berhala itu dengan disaksikan oleh para penyembah
berhala… ia menyalakan api amarah di hatinya… seraya membacakan mantra:
Wahai Dzul Kafain aku bukanlah termasuk
para penyembahmu Kami lahir
lebih dahulu daripada dirimu
Aku akan mengisi api dalam hatimu
Seiring api
melahap berhala tersebut, maka terlahap juga kemusyrikan yang ada di kabilah
Daus. Seluruh kaumnya masuk ke
Al Thufail bin ‘Amr Al Dausy setelah
itu terus mendampingi Rasul Saw hingga Beliau kembali ke sisi Tuhannya.
Begitu
kekhalifahan diserahkan kepada Abu Bakar As Shiddiq, Al Thufail meletakkan
diri, pedang dan anaknya untuk taat kepada khalifah Rasulullah Saw.
Tatkala pecah peperangan terhadap
kaum murtad, Al Thufail berangkat dalam barisan terdepan kaum
muslimin untuk memerangi Musailamah Al Kadzab.
Dan ia ditemani oleh anaknya
yang bernama ‘Amr.
Saat dalam
perjalanan menuju Al Yamamah, Thufail bermimpi dan ia berkata kepada para
sahabatnya: “Aku mendapatkan sebuah mimpi, ta’birkanlah oleh kalian mimpi
tersebut untukku!” Para sahabatnya bertanya: “Apa mimpimu itu?” Ia menjawab:
“Aku bermimpi bahwa kepalaku dicukur, dan ada seekor burung keluar dari
mulutku, dan ada seorang wanita yang memasukkan aku ke dalam perutnya. Dan
anakku ‘Amr mengejarku dengan cepat namun ada penghalang diantara kami.” Para
sahabatnya berkata: “Mungkin akan membawa kebaikan.” Thufail
berkata:
“Demi Allah aku telah mencoba mentakwilkannya: adapun kepalaku yang tercukur
itu berarti bahwa ia akan terpotong. Sedangkan burung yang keluar dari mulutku
maka itu adalah ruhku… Adapun wanita yang memasukkan aku ke dalam perutnya
adalah bumi dimana aku dikuburkan… Aku berharap dapat terbunuh sebagai syahid….
Sedangkan anakku yang mengejar
diriku itu berarti
bahwa ia juga mencari kesyahidan seperti yang akan aku dapatkan
–jika Allah mengizinkan- akan tetapi ia akan mendapatkannya pada kesempatan selanjutnya.
Dalam peperangan
Al Yamamah seorang sahabat agung yang bernama
Al Thufail bin ‘Amr Al Dausy tertimpa
ujian yang begitu
besar, sehingga ia jatuh tersungkur sebagai seorang syahid
di medan perang.
Sedangkan anaknya
yang bernama ‘Amr masih terus berperang sehingga sekujur tubuhnya penuh dengan
luka dan telapak tangan kanannya putus. Ia pun kembali ke Madinah dari Al
Yamamah tanpa ayah dan telapak tangannya.
Pada masa
kekhalifahan Umar bin Khattab, ‘Amr bin Thufail datang menghadap. Saat itu Umar
sedang mendapat makanan, dan banyak orang yang berada di sekelilingnya. Umar
mengajak semua orang tadi untuk menikmati makanannya. ‘Amr menolak undangan
makan itu. Umar lalu berkata kepadanya: “Apa yang terjadi denganmu… apakah
engkau tidak mau makan karena merasa malu karena tanganmu.” Ia menjawab:
“Benar, ya Amirul Mukminin.” Umar berkata: “Demi Allah, aku tidak akan
mencicipi makanan ini hingga ia tersentuh oleh tanganmu yang buntung itu… Demi Allah tidak
ada seorangpun di kaum ini yang sebagian
anggota tubuhnya berada di surga selain
kamu, (maksudnya adalah tangan ‘Amr).
Impian untuk
mendapatkan syahadah (mati syahid) terus membayangi ‘Amr sejak ia berpisah
dengan ayahnya. Begitu perang Yarmuk meletus, ‘Amr segera menyambutnya dengan
orang-orang lain yang bersemangat. Ia terus saja berperang sehingga ia
mendapatkan syahadah seperti yang didapatkan
ayahnya.
Semoga Allah merahmati Al Thufail bin
‘Amr Al Dausy; dia adalah seorang syahid ayah dari seorang syahid.
EmoticonEmoticon