Rabu, 23 Maret 2022

Abu Ayub Al Anshary R.a

Abu Ayub Al Anshary R.a

 


“Dimakamkan di Bawah Benteng Kostantinopel”

 

 

Ini adalah seorang sosok sahabat besar yang terkenal  denga  nama  Khalid bin Zaid bin Kalib dari Bani An Najar. Panggilannya adalah Abu Ayub, dan ia berasal dari suku Anshar.

Siapakah dari kaum muslimin yang tidak mengenal Abu Ayub Al Anshary?

Allah telah mengharumkan namanya dari timur hingga ke barat negeri. Allah telah meninggikan derajatnya saat Ia memilih rumah Abu Ayub bukan rumah kaum muslimin lainnya saat sebagai tempat singgah Rasulullah Saw saat Beliau tiba di Madinah sebagai seorang muhajir. Dan hal ini cukup membuat bangga diri Abu Ayub.

Saat Rasulullah Saw singgah di rumah Abu Ayub ada sebuah kisah yang amat manis dan indah untuk dikenang.

Hal itu dimulai begitu Rasulullah Saw tiba di Madinah, Beliau disambut oleh hati terbuka para penduduknya dengan sambutan yang begitu mulia. Mata mereka memancarkan kerinduan seorang kekasih kepada Nabi Saw. Mereka mau membukakan pintu hati mereka bagi Beliau Saw. Mereka juga membuka pintu mereka agar Nabi Saw mau singgah sebagai tempat singgah yang paling mulia. Akan tetapi Rasulullah Saw sempat singgah di Quba14 sebuah dataran yang terdapat di Madinah 4 hari lamanya. Selama itu Rasulullah sempat membangun sebuah mesjid yang kemudian menjadi mesjid pertama yang dibangun berdasarkan tqawa.

Kemudian Beliau pergi meninggalkan Quba dengan mengendarai untanya menuju Madinah, di tengah perjalanan para pemuka Yatsrib menghalangi jalan Rasul Saw. Masing-masing dari mereka menginginkan agar Rasulullah Saw berkenan singgah di rumah salah satu dari mereka… Masing-masing mereka menarik unta Rasul sambil berkata: “Menginaplah di rumah kami ya Rasulullah dalam penjagaan dan pengawasan yang begitu kuat.” Rasul bersabda kepada mereka: “Biarkan unta ini berjalan, karena ia sudah diperintahkan.”

Unta Rasul Saw lalu melanjutkan perjalanannya menuju ke tempat tujuan yang diikuti oleh pandangan mata dan harapan hati para penduduk Madinah… Jika unta tersebut telah melewati sebuah rumah maka penghuni rumah tadi menjadi sedih dan putus asa dibuatnya, pada saat yang sama sinar pengharapan masih terus terpancar pada jiwa para tetangganya yang belum dilewati oleh unta Rasulullah Saw.

Unta tersebut masih saja melakukan tugasnya dan para manusia mengikuti jejaknya karena mereka betapa ingin mengetahui siapa yang akan mendapatkan keberuntungan ini; sehingga unta tersebut tiba di sebuah pekarangan kosong di depan rumah Abu Ayub Al Anshary, dan unta tadi langsung duduk di sana…

Akan tetapi meski unta sudah duduk namun Rasulullah belum juga turun dari punuknya…

Unta tersebut juga terus duduk di sana. Ia tidak lompat, berdiri lalu pergi, dan Rasulullah Saw melepaskan tali kekang dari untanya. Unta Beliau masih saja tetap di sana tanpa mengangkat kakinya lagi dan ia masih tetap di tempat berhentinya yang semula.

Pada saat itu, terbuncah kegembiraan hati Abu Ayub Al Anshary dan ia langsung menghambur menghampiri Rasulullah Saw untuk menyambut Beliau. Ia membawakan barang-barang milik Rasulullah seolah ia sedang membawa harta karun yang terkandung di seluruh dunia ini, dan ia pun masuk ke dalam rumahnya.

 

Rumah Abu Ayyub terdiri dari dua tingkat. Abu Ayub mengosongkan tingkat atas dari rumahnya agar Rasulullah Saw bisa tinggal di sana.

Akan tetapi Rasulullah Saw lebih memilih untuk tinggal di bawah saja. Dan Abu Ayub pun melakukan permintaan Rasul Saw dan menempatkan Beliau sesukanya.

Begitu malam mulai datang dan Rasul Saw sudah berada di peraduannya. Abu Ayub dan istrinya hendak naik ke tingkat atas. Begitu mereka baru saja mau menutup pintu, Abu Ayub menoleh ke arah istrinya sambil berkata: “Celaka kamu, apa yang telah kita perbuat? Apakah pantas Rasulullah Saw berada di bawah dan kita tinggal di atasnya?! Apakah kita akan melangkah di atas tubuh Rasulullah Saw?! Apakah kita akan berjalan di antara seorang Nabi dan wahyu?! Kita bisa celaka kalau begitu.”

Akhirnya suami-istri tersebut menjadi bingung dan mereka berdua tidak tahu mau berbuat apa.

Keduanya merasa tidak tenang kecuali pada saat mereka mau ke bagian atas rumah di mana tidak tepat berada di atas tubuh Rasulullah Saw. Mereka berdua dengan hati-hati tidak melangkah kecuali pada sudut pinggir yang jauh dari tengah.

Begitu menjelang pagi, Abu Ayub berkata kepada Nabi Saw: “Demi Allah, tadi malam kami tidak bisa tertidur. Baik aku atau Ummu Ayub.” Rasulullah Saw bertanya: “Mengapa demikian, wahai Abu Ayub?!” Ia menjawab: “Aku teringat bahwa aku berada di tengah rumah dimana Engkau berada di bawahnya, dan aku sadar bahwa jika aku bergerak pasti akan membuat debu beterbangan dan menimpamu sehingga dapat mengganggumu. Dan aku teringat bahwa aku akan menghalangi dirimu dan wahyu.”

Rasulullah Saw lalu bersabda kepadanya: “Tenanglah, wahai Abu Ayub. Aku lebih senang tinggal di bawah, karena banyak orang yang mengunjungiku.”

Abu Ayub berkata: “Aku melaksanakan perintah Rasulullah Saw hingga pada suatu malam yang dingin tempat air kami pecah dan airnya tumpah dari atas. Maka aku dan Ummu Ayub bergegas menghampiri air tersebut. Kami tidak memiliki apa-apa selain selembar kain yang kami jadikan lap. Kami mencoba mengeringkan air tersebut dengan lap tersebut karena khawatir dapat mengenai Rasulullah Saw.”

Begitu masuk pagi, aku datang kepada Nabi Saw dan aku berkata kepadanya: “Demi ibu dan bapakku, aku merasa segan berada di atasmu dan kau berada di bawahku. Dan aku ceritakan kepada Beliau tentang tempat air yang pecah tadi. Beliau langsung memenuhi permintaanku dan naik ke bagian atas rumah. Dan aku beserta Ummu Ayub pun pindah ke bawah.

Nabi Saw tinggal di rumah Abu Ayub selama kira-kira 7 bulan lamanya. Sehingga selesai pembangunan masjid Rasul di sebuah tanah kosong yang pernah dipakai sebagai tempat pemberhentian oleh untanya. Lalu Nabi Saw pindah ke kamar yang dibangun untuk dirinya dan para istrinya yang berada di sekitar Masjid. Dan Nabi Saw menjadi tetangga Abu Ayub. Alangkah mulianya kehidupan bertetangga ini.

 

Abu Ayub mencintai Rasulullah Saw dengan seluruh hati dan sanubarinya. Dan Rasul Saw juga mencintai Abu Ayub dengan begitu cintanya sehingga tak berjarak lagi. Dan Beliau menganggap bahwa rumah Abu Ayub sudah seperti rumah Beliau.

 

Ibnu Abbas ra berkata: “Pada suatu siang hari yang panas Abu Bakar datang ke mesjid dan Umar melihatnya seraya bertanya: ‘Wahai Abu Bakar, apa yang membuatmu datang ke mesjid pada saat seperti ini?’ Abu Bakar menjawab: ‘Yang membuatku datang ke mesjid tiada lain karena aku merasa amat lapar sekali.’ Umar pun bertukas: ‘Demi Allah, saya pun keluar dari rumah karena saya juga merasa amat lapar.’ Saat keduanya sedang merasa amat lapar, lalu datanglah Rasulullah Saw ke arah mereka


sambil bertanya: ‘Apa yang membuat kalian berdua keluar pada saat seperti ini?’ Keduanya menjawab: ‘Demi Allah, kami keluar dari rumah karena di rumah kami tidak terdapat apa-apa untuk di makan dan kami merasa amat lapar.’ Rasul membalas: ‘Demi Allah, Aku pun keluar karena hal yang sama… kalau begitu, ikutilah aku.”

Akhirnya, mereka bertiga datang ke rumah Abu Ayub Al Anshary ra. Abu Ayub setiap hari menyisakan makanan untuk Rasulullah Saw. Jika Rasulullah terlambat datang atau tidak datang pada waktu makan, maka makanan tersebut ia berikan kepada keluarganya.

Begitu mereka sampai di depan pintu rumah Abu Ayub, maka keluarlah Ummu Ayub sambil berkata: “Selamat datang kepada Nabi Allah dan orang yang bersamanya.” Lalu Nabi Saw bertanya kepadanya: “Kemana Abu Ayub?” Abu Ayub mendengar suara Nabi Saw –saat itu sedang bekerja di bawah pohon kurma dekat rumahnya- dan ia pun langsung datang menghadap segera sambil berkata: “Selamat datang kepada Rasulullah dan orang yang bersamanya.” Kemudian ia menyambung: “Wahai Nabi Allah,  ini bukanlah waktu yang biasanya Engkau datang.” Rasul Saw lalu menjawab: “Engkau benar.” Lalu Abu Ayub berlari ke  arah  pohon kurmanya dan ia memotong satu tandan yang  berisikan  kurma  yang  matang dan belum masak.

Rasul Saw lalu bersabda: “Aku tak menginginkan dirimu untuk memotongnya akan tetapi cukup kau petikan saja buahnya untuk kami?” Abu Ayub menjawab: “Ya Rasulullah, aku amat ingin Engkau memakan kurma yang masak maupun tidak dari pohon ini, dan aku akan menyembelih hewan untukmu juga.” Rasul menjawab: ‘Jika kau ingin menyembelih hewan, sembelihlah namun jangan yang banyak susunya!”

Maka Abu Ayub langsung mengambil seekor anak kambing lalu menyembelihnya. Lalu ia berkata kepada istrinya: ‘Aduklah adonan dan buatkan kami roti sebab engkau amat tahu cara membuat roti.’ Ia lalu mengambil separuh dari anak kambing tadi dan memasaknya. Setengahnya lagi ia panggang. Begitu makan telah masak dan telah dihidangkan  dihadapan Rasulullah Saw dan kedua sahabatnya, maka Rasulullah Saw langsung mengambil sepotong daging dari anak kambing tadi dan Beliau meletakkannya dalam roti. Beliau pun bersabda: “Ya Abu Ayub, Bawalah segera potongan daging ini kepada Fathimah, karena ia belum memakan apapun seperti ini sejak pagi tadi.”

Begitu mereka semua telah menikmati makanan dan merasa kenyang, Nabi Saw bersabda: “Roti, daging, kurma mentah dan kurma masak!!!” Lalu kedua mata Rasul Saw meneteskan air mata. Beliau pun bersabda: “Demi jiwaku yang berada dalam genggaman-Nya. Ini adalah kenikmatan  yang akan dipertanyakan kepada kalian di hari kiamat. Jika kalian menemukan makanan seperti ini dan kalian sudah mulai memegangnya dengan tangan kalian maka bacalah: Bismillah. Jika kalian sudah merasa kenyang maka bacalah: Alhamdulillah Alladzi Huwa Asyba’na wa An’ama alaina fa Afdhala (Segala puji bagi Allah Yang telah membuat kami merasa kenyang dan telah menganugerahkan kepada kami sehingga membuat kami menjadi mulia).

Lalu Rasulullah Saw bangkit dan berkata kepada Abu Ayub: “Datanglah menghadap kami besok hari!”

Rasulullah Saw adalah seorang yang bila menerima jasa baik dari orang lain maka ia ingin membalas kebaikan tersebut; akan tetapi Abu  Ayub  belum pernah mendengar hal itu.

Umar lalu berkata kepada Abu Ayub: “Nabi Saw menyuruhmu untuk mendatangi Beliau esok hari, wahai Abu Ayub!”

Abu Ayub lalu berkata: “Baik dan aku akan taati perintah Rasulullah.”

Keesokan harinya Abu Ayub datang menghadap Nabi Saw dan Nabi memberinya seorang budak wanita kecil untuk membantu pekerjaannya. Rasul berpesan kepada Abu Ayub: “Jagalah ia dengan baik, wahai  Abu Ayub. Tidak ada yang kami dapati darinya selain kebaikan selama ia  bersama kami.”

 

Abu Ayub kembali ke rumahnya bersama budak wanita kecil itu. Begitu Ummu Ayub melihat budak tadi ia langsung bertanya: “Milik siapa budak ini, wahai Abu Ayub?!” Ia menjawab: “Dia milik kita… Rasul Saw telah memberikannya kepada kita.” Istrinya menjawab: “Agungkanlah  orang  yang memberikannya, dan alangkah mulyanya pemberian ini.” Abu Ayub berkata: “Rasul berpesan agar budak ini diperlakukan  dengan  baik.”  Istrinya bertanya: “Apa yang mesti kita lakukan untuk melaksanakan pesan Rasul Saw?” Abu Ayub berkata: “Demi Allah, tidak aku dapati hal yang lebih baik akan wasiat Rasul Saw daripada membebaskannya.” Istrinya menjawab: “Engkau telah mendapatkan petunjuk ke  arah  kebenaran. Engkau telah diberi taufik.” Maka akhirnya budak tersebut dibebaskan oleh Abu Ayub.

 

Inilah sebagian kisah kehidupan Abu Ayub Al Anshary dalam kondisi aman. Kalau anda berkesempatan untuk melihat kisah hidupnya dalam peperangan, anda akan menjumpai sebuah keajaiban.

Abu Ayub ra mengisi hidupnya dengan berjuang di jalan Allah hingga ada orang yang berkata: bahwa ia tidak pernah ketinggalan mengikuti setiap peperangan yang dilakukan kaum muslimin sejak zaman Nabi Saw hingga masa Mu’awiyah kecuali bila ada kegiatan lain.

Perang terakhir yang diikutinya adalah saat Mu’awiyah mempersiapkan sebuah pasukan di bawah kepemimpinan anaknya yang bernama Yazid untuk menaklukan Konstantinopel. Pada saat itu, Abu Ayub adalah seorang tua renta yang berusia lebih dari 80 tahun. Namun hal itu tidak membuat dirinya urung untuk bergabung dengan pasukan Yazid dan mengarungi ombak lautan demi berjuang di jalan Allah Swt.

Akan tetapi tidak lama berselang sejak pertempuran melawan  musuh Abu Ayub jatuh sakit dan tidak mampu lagi melakukan pertempuran. Maka datanglah Yazid menjenguknya dan bertanya kepadanya: “Apakah engkau membutuhkan sesuatu, wahai Abu Ayub?” Ia menjawab: “Sampaikan salamku kepada para tentara kaum muslimin dan katakan kepada mereka: ‘Abu Ayub berpesan kepada kalian agar kalian merangsek  ke  barisan  musuh hingga batas terjauh. Bawalah Abu Ayub bersama kalian dan kuburkanlah ia di bawah kaki kalian dan di bawah pagar benteng Konstantinopel…” dan iapun menghembuskan nafasnya yang terakhir.

 

Pasukan muslimin memenuhi keinginan seorang  sahabat  Rasulullah  Saw ini. Mereka merangsek dan menyerang pasukan musuh sedikit demi sedikit hingga mereka sampai di pagar benteng Konstantinopel dengan membawa jasad Abu Ayub. Dan disanalah mereka menggali kubur untuk Abu Ayub dan menguruknya dengan tanah.

 

Semoga Allah merahmati Abu Ayub Al Anshary. Ia telah berani mati di tanah musuh dengan berjuang di jalan Allah Swt, padahal umurnya saat itu berkisar 80 tahun.

 


Tsumamah bin Utsal R.a

Tsumamah bin Utsal R.a

 


“Melakukan Embargo Ekonomi Terhadap Kaum Quraisy”

 

 

Pada tahun 6 H Rasulullah Saw bertekad untuk memperluas daerah dakwahnya. Beliau Saw menuliskan 8 surat yang ditujukan kepada para raja dan penguasa Arab dan Non-Arab. Rasul Saw juga mengutus beberapa orang yang membawa surat-surat tersebut untuk mengajak para raja dan penguasa tadi untuk memeluk Islam.

Salah seorang dari penguasa yang mendapatkan surat dari Rasul Saw adalah Tsumamah bin Utsal Al Hanafi. Hal itu tidak mengherankan, karena Tsumamah adalah salah seorang penguasa Arab pada zaman jahiliah… dan ia termasuk salah seorang pembesar Bani Hanifah yang terpandang. Ia juga salah seorang raja dari Yamamah yang setiap perintahnya harus ditaati.

 

Tsumamah menerima surat Rasul Saw dengan sikap meremehkan dan menolak. Ia mengambilnya dengan congkak dan ia tidak mau mendengarkan dakwah kebenaran dan kebaikan yang sampai kepadanya. Lalu setan menyuruhnya untuk membunuh Rasulullah Saw dan menamatkan riwayat dakwah Beliau. Maka Tsumamah mulai mencari kesempatan terbaik untuk membunuh Rasulullah Saw saat Rasul lengah. Hampir saja makar ini berhasil kalau saja salah seorang paman Tsumamah memberitahukan kepada Rasul niat Tsumamah untuk membunuh Beliau. Maka Allah Swt menyelamatkan Nabi-Nya dari kejahatan Tsumamah.

Namun, meski Tsumamah telah mengurungkan niat untuk membunuh Rasul Saw, akan tetapi ia masih bertekad untuk membunuh para sahabat Rasul Saw. Ia menunggu kesempatan untuk melakukan hal tersebut. Akhirnya, ia berhasil menangkap beberapa orang sahabat Rasul Saw dan membunuh mereka dengan begitu kejamnya. Maka Nabi Saw langsung memberitahukan kepada para sahabatnya bahwa Beliau Saw telah menghalalkan darah Tsumamah untuk dibunuh.

 

Tidak lama berselang sejak kejadian itu, Tsumamah pun berniat untuk melakukan umrah. Ia berangkat dari kampungnya yang bernama Yamamah menuju Mekkah. Dalam perjalanan ia berkhayal melakukan thawaf berkeliling Ka’bah dan melakukan penyembelihan untuk para berhala yang ada di sana.

 

 

Saat Tsumamah berada di tengah perjalanan dekat dengan Madinah maka ia mendapatkan musibah yang belum pernah dibayangkan olehnya.

Ada serombongan pasukan Rasulullah Saw yang bertugas untuk mengintai dan mengawasi sekeliling pemukiman karena khawatir ada pihak musuh yang hendak menyusup dan melakukan kejahatan di Madinah.

Maka pasukan tadi langsung menawan Tsumamah –dan pasukan ini tidak mengenal Tsumamah- lalu membawanya ke Madinah. Rombongan pasukan ini mengikat Tsumamah bersama dengan beberapa tawanan yang diikat di masjid. Mereka mengikat para tawanan tadi sambil menunggu hingga Rasul Saw sendiri yang memberi keputusan tentang para tawanan ini.

Rasulullah Saw keluar rumah untuk pergi ke mesjid, begitu Beliau hendak masuk ke dalamnya, Beliau melihat Tsumamah sedang diikat oleh pasukan. Maka Rasul Saw langsung bertanya kepada para sahabatnya: “Apakah kalian tahu siapa yang kalian tawan ini?” Para sahabat menjawab: “Tidak, ya Rasulullah.” Rasul bersabda: “Ini adalah Tsumamah bin Utsal Al Hanafi. Bersikaplah yang baik terhadapnya.”

Lalu Rasulullah Saw kembali ke rumahnya lagi dan bersabda kepada keluarganya: “Kumpulkan makanan yang ada pada kalian dan kirimkan kepada Tsumamah bin Utsal!” Kemudian Rasul Saw memerintahkan keluarganya untuk memeras susu unta miliknya setiap pagi dan petang dan membawa susu tersebut kepada Tsumamah. Semua itu dilakukan sebelum Tsumamah berjumpa atau berbicara kepada Rasul Saw.

 

Kemudian Nabi Saw mendatangi Tsumamah dengan niat mengajak Tsumamah masuk ke dalam Islam. Beliau bertanya: “Bagaimana keadaanmu, wahai Tsumamah?” Tsumamah menjawab: “Saya baik-baik saja, ya Muhammad! Jika kau hendak membunuhku, maka sepantasnyalah kau membunuhku karena aku telah banyak membunuh sahabatmu. Jika kau mau memaafkan, aku akan amat berterima-kasih. Jika kau menginginkan harta, sebut saja sesukamu pasti akan diberikan.”

Lalu Rasulullah Saw membiarkan Tsumamah seperti itu selama dua hari. Ia diberi makan dan minum dan selalu diberi susu unta. Dua hari kemudian Rasul Saw mendatanginya lagi dengan bertanya: “Bagaimana keadaanmu, wahai Tsumamah?” Tsumamah menjawab: “Aku masih tetap dengan apa yang telah aku katakan sebelumnya. Jika kau mau memaafkan, aku akan amat berterima kasih. Jika kau hendak membunuhku, maka sepantasnyalah kau membunuhku karena aku telah banyak membunuh sahabatmu. Jika kau menginginkan harta, minta saja sesukamu, pasti aku akan memberikannya.” Lalu Rasul Saw meninggalkannya lagi, dan pada hari keesokannya Rasul mendatanginya lagi dengan bertanya: “Bagaimana keadaanmu, wahai Tsumamah?” Ia menjawab: “Seperti yang pernah aku katakan kepadamu. Jika kau mau memaafkan, aku akan amat berterima kasih. Jika kau hendak membunuhku, maka sepantasnyalah kau membunuhku karena aku telah banyak membunuh sahabatmu. Jika kau menginginkan harta, minta saja sesukamu, pasti aku akan memberikannya.”

Rasul Saw langsung menoleh ke arah para sahabatnya sambil bersabda: “Bebaskan Tsumamah!” Maka para sahabat melepas ikatan yang melilit tubuh Tsumamah dan membebaskannya.

 

Tsumamah pergi meninggalkan mesjid Rasulullah Saw dan ia terus melanjutkan perjalanannya sehingga ia tiba di sebuah pohon kurma di ujung kota Madinah dekat dengan Baqi13- dekat pohon tersebut terdapat mata air sehingga ia bisa memberi minum hewan tunggangannya. Ia langsung mandi dengan bersih di mata air tersebut, lalu ia melanjutkan perjalanannya menuju Mesjidil Haram.

Belum juga ia sampai ke Mekkah ia berjumpa dengan sekelompok orang kaum muslimin yang berkata: “Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.”

Lalu Tsumamah kembali lagi menghadap Rasulullah Saw seraya berkata: “Ya Muhammad, Demi Allah tidak ada wajah yang paling aku benci selain wajahmu. Kini, wajahmu menjadi wajah yang paling aku sukai di muka bumi ini. Demi Allah, tidak ada agama di muka bumi ini yang paling aku benci selain agamamu. Kini, ia telah menjadi agama yang paling aku cintai. Demi Allah, tidak ada negeri yang paling aku benci selain negerimu. Kini, ia menjadi negeri yang paling aku sayangi.” Lalu ia menambahkan: “Aku telah banyak membunuh para sahabatmu, lalu apa yang akan kau lakukan padaku?” Rasul Saw bersabda: “Engkau tidak akan dicelakakan… karena Islam telah menghapuskan kesalahan yang pernah dilakukan oleh seseorang.” Rasul Saw memberitahukan Tsumamah akan kebaikan yang telah Allah tetapkan pada dirinya karena ia telah mau memeluk Islam.

Raut muka Tsumamah langsung sumringah dibuatnya, dan ia langsung berujar: “Demi Allah, aku akan membunuh kaum musyrikin berlipat-lipat dari jumlah para sahabatmu yang telah aku bunuh. Aku akan menyerahkan diriku, pedangku dan semua pengikutku untuk membela agamamu.”

Ia lalu berkata: “Ya Rasulullah, Aku tertarik  dengan  kudamu  karena aku berniat melakukan umrah. Apa yang mesti aku lakukan?” Rasul Saw bersabda: “Pergilah untuk melakukan umrah, akan tetapi harus sesuai dengan syariat Allah dan Rasul-Nya.” Rasul Saw lalu mengajarkan kepadanya manasik yang mesti dilakukan.

 

Tsumamah pergi untuk melakukan niatnya hingga ia  sampai  di  Mekkah. Ia berdiri dengan meneriakkan talbiyah dengan suara kencang: “Labbaika-llahumma labaik. Labaika la syarika laka labbaik. Innal hamda wan nikmata laka wal mulk, la syarika lak. (Aku penuhi panggilan-Mu, Ya Allah. Aku penuhi panggilan-Mu. Aku penuhi panggilan-Mu, tiada sekutu bagi-Mu, aku penuhi panggilan-Mu. Sesungguhnya, pujian, nikmat dan kekuasaan adalah milik-Mu. Tiada sekutu bagi-Mu).” Tsumamah menjadi muslim pertama yang masuk ke Mekkah dengan meneriakkan talbiyah.

 

Suku Quraisy mendengar suara talbiyah yang diteriakkan oleh Tsumamah. Mereka menjadi berang dibuatnya. Mereka segera menghunuskan pedang dari sarungnya, dan berlari ke arah sumber suara untuk membunuh orang yang berani menyusup Mekkah dengan membaca kalimat tersebut.

Begitu kaum Quraisy datang menghampiri Tsumamah. Ia malah memperkeras suaranya meneriakkan talbiyah. Ia menatap ke arah suku Quraisy dengan gagahnya. Salah seorang pemuda suku Quraisy berniat untuk memanah Tsumamah. Lalu suku Quraisy yang lain mencegahnya seraya berkata: “Celaka kamu, apakah kamu tidak kenal dengan orang ini? Dia adalah Tsumamah bin Utsal raja Yamamah. Demi Allah, jika kalian membunuhnya, maka kaumnya tidak akan mengirimkan makanan lagi kepada kita dan kita bisa mati kelaparan.” Kemudian suku Quraisy mendatangi Tsumamah setelah mereka memasukkan kembali pedang ke dalam sarungnya. Suku Quraisy bertanya: “Ada apa denganmu, wahai Tsumamah? Apakah engkau telah hilang kesadaran dan meninggalkan agamamu dan agama bapak moyangmu?!!” Tsumamah menjawab: “Aku tidak hilang kesadaran akan tetapi aku kini mengikuti agama terbaik… aku telah mengikuti agama Muhammad.” Ia menambahkan: “Aku bersumpah demi Tuhan Pemilik rumah ini (pent: Ka’bah), Setelah aku kembali lagi ke Yamamah, kalian tidak akan pernah menerima kiriman gandum atau komoditas apapun dari sana sehingga kalian semua mengikuti agama Muhammad…”

 

Tsumamah bin Utsal menjalankan umrah sebagaimana yang diajarkan Rasul Saw dihadapan para suku Quraisy… Ia menyembelih hewan sembelihan di sana sebagai pendekatan diri kepada Allah bukan kepada para berhala. Ia pun kembali ke negerinya dan memerintahkan kepada penduduk Yamamah untuk menghentikan pengiriman produk kepada suku Quraisy; Ia menjelaskan dengan tegas perintahnya ini dan kaumnya pun menuruti akan titahnya. Mereka tidak mengirimkan komoditas mereka kepada penduduk Mekkah.

 

Embargo yang diterapkan Tsumamah semakin terasa dampaknya oleh suku Quraisy. Harga semakin tinggi, manusia kelaparan dan mereka menjadi panik dibuatnya. Mereka menjadi khawatir akan keselamatan diri dan anak-anak mereka dari bahaya kelaparan.

Dalam keadaan sedemikian genting bangsa Quraisy mengirimkan surat kepada Rasulullah Saw yang isinya: “Salah satu perjanjian di antara kita adalah bahwa engkau akan tetap berusaha menjaga silaturahim… Kini, engkau sudah memutuskan hubungan silaturahim ini; karena engkau telah membunuh kaum bapak kami dengan pedang dan membunuh anak-anak kami dengan rasa lapar.

Tsumamah bin Utsal telah mengembargo produk mereka kepada kami sehingga membuat kami dalam bahaya. Jika kau tak berkeberatan untuk mengirimkan surat kepadanya agar ia tetap mengirimkan apa yang kami butuhkan, maka lakukanlah!”

Lalu Rasulullah Saw mengirimkan surat kepada Tsumamah agar ia mengirimkan kembali komoditinya kepada kaum Quraisy, dan Tsumamah langsung melakukannya.

 

Selagi ia hidup, Tsumamah bin Utsal senantiasa memelihara agamanya dan menjaga janjinya kepada Rasul Saw. Begitu Rasul Saw wafat, banyak dari kalangan bangsa Arab yang keluar dari agama Allah secara bersama- sama atau sendirian. Saat itu Musailamah Al Kadzzab melakukan dakwah di kalangan Bani Hanifah mengajak mereka untuk beriman kepadanya. Tsumamah yang tahu akan hal itu mendatangi Musailamah dan berkata kepada kaumnya: “Wahai Bani Hanifah, hati-hatilah kalian dengan urusan kegelapan yang tiada cahaya di dalamnya ini… Ketauilah, Demi Allah ini merupakan bencana bagi orang di antara kalian yang mau mengikutinya. Ia juga merupakan bencana bagi orang yang mentaatinya.” Ia juga menyerukan: “Wahai, Bani Hanifah. Tidak pernah ada dua Nabi dalam masa yang sama. Sungguh Muhammad adalah Rasulullah dan tidak ada Nabi sesudahnya, dan juga tidak ada Nabi yang diutus bersamaan dengannya.” Tsumamah lalu membacakan kepada mereka:artinya

 


 “Haa Miim. Diturunkan Kitab ini (al-Qur'an) dari Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui, Yang mengampuni dosa dan menerima taubat lagi keras hukuman-Nya; Yang mempunyai karunia. Tiada Ilah (yang berhak disembah) selain Dia. Hanya kepada-Nyalah kembali (semua makhluk).” (QS. Ghafir [40]: 1-3)

Ia lalu berujar: “Bagaimana kalian dapat membandingkan kalam Allah dengan ucapan Musailamah: “Wahai kodok yang bersih, alangkah bersihnya dirimu. Tidak ada minuman yang dipantangkan bagimu, dan tidak ada air yang kau buat keruh.”

Lalu Tsumamah bergabung dengan mereka yang tersisa dari kaumnya yang masih memeluk Islam, dan menyerang kaum murtad sebagai jihad di jalan Allah dan menegakkan kalimat-Nya di muka bumi.

Semoga Allah membalas kebaikan Tsumamah yang  telah  didekasikannya kepada Islam dan kaum muslimin… Semoga Allah memulyakannya dengan surga yang  telah  dijanjikan  bagi  orang-orang  yang bertaqwa.

 


Umair Bin Wahab R.a

Umair Bin Wahab R.a

 


“Umair Bin Wahab Telah Menjadi Orang yang Paling Aku Kasihi Di Antara Para Anakku.” (Umar Bin Khattab)

 

 

Umair bin Wahab Al Jumahy kembali dari perang Badr dalam kondisi selamat, akan tetapi ia pulang tanpa membawa anaknya yang bernama  Wahab karena ditawan oleh kaum muslimin.

Umair amat khawatir bila kaum muslimin akan menyiksa anaknya karena dosa yang telah dibuat oleh ayahnya. Dan ia juga amat khawatir bila kaum muslimin akan menganiaya anaknya dengan bengis sebagai balas dari tindakan ayahnya saat menyakiti Rasulullah Saw dan para sahabatnya.

 

Di suatu  pagi, Umair hendak pergi ke Masjidil Haram untuk bertawaf    di Ka’bah dan mencari keberkahan para berhala yang ada di sana.  Ia  bertemu dengan Shafwan bin Umayyah7 yang sedang duduk di samping Hijir Ismail. Umair lalu menghampirinya dan berkata: “Selamat pagi, wahai pemuka bangsa Quraisy!” Shafwan membalas: “Selamat pagi, Abu Wahab. Duduklah agar kita dapat berbicara sejenak! Sebab waktu dapat berhenti karena pembicaraan.” Umair pun duduk dihadapan Shafwan bin Umayyah. Kedua pria tersebut akhirnya mengingat peristiwa Badr dan kekalahan mereka yang telak. Mereka juga menghitung kaum mereka yang menjadi tawanan di tangan Muhammad dan para sahabatnya. Dan mereka menjadi bergidik saat mengingat para pembesar Quraisy yang mati terbunuh oleh pedang kaum muslimin, dan mereka terkenang akan Al Qalib8… Lalu Shafwan langsung berseru: “Demi Allah, tidak ada kehidupan yang lebih nikmat setelah mereka.” Umair menyahut: “Demi Allah, Engkau benar.” Lama berselang Umair berkata lagi: “Demi Tuhan pemilik Ka’bah, kalau   aku tidak ingat hutangku yang tidak sanggup aku bayar. Kalau saja aku   tidak khawatir dengan keluarga yang aku khawatirkan kehidupan mereka  bila aku tidak ada. Pasti aku sudah mendatangi Muhammad dan membunuhnya sehingga aku dapat menyelesaikannya dan menolak segala kejahatannya…” Kemudian ia meneruskan lagi ucapannya dengan suara pelan: “Dan keberadaan anakku yang bernama Wahab yang menjadi tawanan mereka, itu yang membuat kepergianku ke Yatsrib menjadi hal yang tidak dapat dielakan.”

 

Shafwan bin Umayyah memegang ucapan Umair bin Wahab. Sebelum kesempatan berlalu, Shafwan memandang Umair seraya berkata:  “Ya  Umair, aku akan menanggung semua hutangmu berapapun jumlahnya… Sedang keluargamu, aku akan menjadikan  mereka  seperti  keluargaku  selagi aku dan mereka masih hidup. Aku memiliki  uang  yang  cukup  banyak untuk merawat mereka semua.” Umair lalu menjawab: “Kalau  begitu, jagalah pembicaraan ini dan jangan sampai ada seorangpun yang tahu!” Shafwan langsung membalasnya: “Aku jamin.”

 

Umair bangkit dari Masjid dan api kedengkian menyala dengan hebat dalam hatinya kepada Muhammad Saw. Ia lalu mempersiapkan bekal untuk mewujudkan tekadnya. Ia tidak khawatir kegelisahan orang lain akan perjalanan yang ia lakukan; hal itu karena para keluarga tawanan Quraisy lainnya ragu untuk pergi ke Yatsrib demi mencari keluarganya yang ditawan di sana.

 

Umair meminta keluarganya untuk mengasah pedangnya lalu melumurkannya dengan racun. Dan ia juga meminta agar kendaraannya dipersiapkan dan dibawa kehadapannya; dan iapun lalu menungganginya… Ia mulai menuju Madinah dengan selendang kebencian dan kejahatan. Akhirnya Umair tiba di Madinah dan ia berjalan menuju Masjid untuk mencari Rasulullah Saw. Saat ia sudah hampir mendekat ke pintu masjid, ia memberhentikan tunggangannya lalu turun.

 

Saat itu Umar bin Khattab ra sedang duduk bersama para sahabat yang lain dekat pintu masjid. Mereka sedang mengenang perang Badr dan tawanan Quraisy serta jumlah yang terbunuh dari pihak mereka. Mereka juga mengenang para pahlawan muslimin dari suku muhajirin dan anshar. Mereka juga mengingat anugerah kemenangan yang Allah berikan kepada mereka, dan apa yang Allah perlihatkan kepada mereka tentang kekalahan yang diterima oleh musuh.

Saat kepala Umar menoleh ia melihat Umair bin Wahab yang baru turun dari kendaraannya. Terlihat Umair sedang berjalan ke arah masjid dengan pedang terhunus. Maka Umar langsung bangkit dengan khawatir seraya berkata: “Inilah si anjing musuh Allah Umair bin Wahab… Demi Allah, pastilah ia datang hendak membuat keburukan. Dialah yang pernah menghasut kaum musyrikin di Mekkah untuk memusuhi kami. Dan dia juga yang selalu menjadi mata-mata sebelum terjadinya perang Badr.” Lalu Umar berpesan kepada para sahabatnya: “Pergilah kepada Rasulullah dan tetaplah kalian bersamanya! Waspadalah saat setan pembuat makar ini akan berlaku khianat kepada Beliau!”

Kemudian Umar datang menghadap Nabi Saw seraya berkata: “Ya Rasulullah, ada musuh Allah bernama Umair bin Wahab datang dengan membawa pedang terhunus. Aku menduga bahwa ia ingin membuat kerusakan.” Lalu Rasul Saw bersabda: “Bawalah ia menghadapku.”

Kemuian Umar mendatangi Umair bin Wahab. Umar lalu mengambil kerah baju Umair dengan keras, lalu melipat leher Umair sampai mencium tempat pedang yang berada di pinggulnya. Lalu Umar membawanya menghadap Rasul Saw.

Saat Rasulullah Saw mendapatinya dalam kondisi sedemikian, maka Beliau bersabda kepada Umar: “Lepaskan dia, ya Umar!” Lalu Umar pun melepaskannya, lalu berkata kepada Umair: Menjauhlah dari Rasul!” Lalu Umair pun menjauh dari Rasul. Lalu Rasul Saw mendekat ke arah Umair bin Wahab seraya bersabda: “Duduklah, ya Umair!” Lalu Umairpun duduk dan berkata: “Selamat pagi!” Lalu Rasulullah Saw menjawab: “Allah telah memulyakan kami dengan ucapan penghormatan yang lebih baik dari yang kau ucapan, wahai Umair! Allah telah memuliakan kami dengan salam dan itu adalah ucapan ahli surga.” Lalu Umair menjawab: “Demi Allah, apa yang kau ucapkan tidak jauh berbeda dengan ucapan kami. Dan jarakmu dengan kami hanya sedikit saja.” Lalu Rasul Saw bertanya kepadanya: “Apa yang membawamu ke sini, wahai Umair?” Umair menjawab: “Aku ke sini untuk memohon kebebasan bagi tawanan yang kalian tawan. Bersikaplah baik kepadaku dalam hal ini.” Rasul Saw bertanya lagi: “Lalu apa maksudnya pedang yang kau bawa di lehermu ini?” Umair menjawab: “Ini adalah pedang yang jelek… apakah ia bermanfaat buat kami saat terjadinya perang Badr?!!” Rasul Saw bertanya lagi: “Berkatalah yang jujur, apa yang kau inginkan hingga datang ke sini, wahai Umair?” Umair menjawab: “Aku hanya datang untuk maksud yang telah aku sebutkan.” Rasul Saw bersabda: “Bukan, namun kau pernah duduk bersama Shafwan bin Umayyah dekat Hijir Ismail, dan kalian berdua mengenang orang- orang Quraisy yang terkubur di Al Qalib lalu kau berkata: ‘kalau bukan karena hutang dan keluargaku aku akan datang kepada Muhammad lalu membunuhnya… lalu Shafwan bin Umayyah bersedia untuk membayar hutangmu dan menjaga keluargamu agar engkau dapat membunuhku… dan Allah adalah penghalang dirimu untuk melakukannya.”

Umair merasa terkejut sesaat, lalu ia mengatakan: aku bersakdi bahwa engkau adalah utusan Allah. Kemudian ia mengatakan: “Dahulu kami selalu mendustakan apa yang engkau bawa dari berita langit. Dan kami juga mendustakan wahyu yang turun kepadamu. Akan tetapi kisah pembicaraanku dengan Shafwan bin Umayyah tidak ada yang mengetahuinya selain aku dan dia.


Demi Allah, kini aku yakin bahwa yang telah memberitahukanmu adalah Allah. Segala puji bagi Allah yang telah mengantarkan aku kesini untuk menunjukkan aku kepada Islam.”

Lalu ia bersyahadat bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Dan akhirnya, ia pun masuk Islam.

Rasul Saw lalu bersabda: “Ajarkan saudara kalian ini tentang agamanya. Ajarkan kepadanya Al Qur’an dan bebaskan tawanannya.”

 

Kaum muslimin amat bergembira dengan keislaman Umair bin Wahab; bahkan Umar bin Khattab ra sempat berkata: “Tidak ada babi yang lebih aku cintai selain Umair bin Wahab saat ia datang menghadap Rasulullah Saw. Mulai hari ini ia adalh orang yang paling aku cintai daripada anak- anakku sendiri.”

 

Saat Umair sedang mensucikan dirinya dengan ajaran Islam, mengisi hatinya dengan cahaya Al Qur’an, dan mengisi hari-hari terindah dalam sisa umurnya yang membuat ia terlupa akan Mekkah dan orang-orang yang tinggal di dalamnya. Pada saat yang sama Shafwan bin Umayyah sedang berangan-angan, dan ia melewati perkumpulan orang-orang Quraisy sambil berkata: “Bergembiralah dengan berita besar yang akan kalian dengan sebentar lagi. Sebuah berita yang akan membuat kalian melupakan peristiwa Badr!”

Setelah penantian cukup lama yang dijalani Shafwan bin Umayyah, maka sedikit demi sedikit ia merasa kekhawatiran merasuki dirinya. Sehingga hatinya menjadi lebih panas ketimbang batu bara. Dan ia mulai kasak-kusuk bertanya kepada para pengelana tentang kabar Umair bin Wahab, namun tidak satu pun jawaban mereka yang dapat memuaskannya. Namun datang seorang pengelana yang mengatakan bahwa Umair telah masuk Islam. Begitu mendengar berita itu, seraya tersambar petir Shafwan dibuatnya… karena ia menduga bahwa Umair bin Wahab tidak akan masuk Islam meski semua manusia di bumi ini masuk Islam.

 

Sedang Umair bin Wahab sendiri hampir saja menguasai agama yang baru dianutnya dan menghapal beberapa ayat Al Qur’an yang mudah baginya sehingga ia datang menghadap Nabi Saw seraya berkata: “Ya Rasulullah dahulu aku adalah seorang yang selalu berusaha untuk memadamkan cahaya Allah. Dahulunya aku adalah orang yang selalu menyiksa para pemeluk Islam. Aku berharap engkau mengizinkan aku untuk datang ke Mekkah untuk berdakwah kepada kaum Quraisy agar kembali ke jalan Allah dan Rasul-Nya. Jika mereka menerima dakwahku, maka itu amat baik buat mereka. Jika mereka menolak dan berpaling dariku, maka aku akan menyiksa mereka sebagaimana aku dulunya menyiksa para sahabat Rasul Saw.”

Rasul Saw memberinya izin dan ia pun berangkat ke Mekkah. Sesampainya di sana ia datang ke rumah Shafwan bin Umayyah sambil berkata: “Ya Shafwan, engkau adalah salah seorang pemuka kota Mekkah, seorang intelektual dari suku Quraisy. Apakah menurutmu apa yang kalian lakukan dengan beribadah kepada batu dan melakukan penyembelihan untuknya dapat diterima oleh akal untuk dijadikan agama?!”

Sedangkan aku kini telah bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Lalu Umair mulai berdakwah di Mekkah sehingga banyak orang yang masuk Islam karena dakwahnya. Semoga Allah Swt melipat gandakan pahala Umair bin Wahab dan memberikan cahaya pada kuburnya.